Kontroversi RUU BHP nampaknya akan berakhir dalam waktu singkat. Setelah berkali-kali mengalami revisi—hingga draft terakhir tanggal 1 Desember 2008 lalu, Pemerintah dan Komisi X DPR akhirnya menemukan kata sepakat untuk mengesahkan RUU BHP ini menjadi Undang-undang pada hari selasa, 16 Desember 2008 (dpr.go.id).
Pengesahan RUU BHP menjadi Undang-Undang merupakan hal yang tidak dikehendaki banyak pihak karena terdapat beberapa hal di dalamnya yang bertentangan dengan filosofi dan tujuan pendidikan di Indonesia. Meskipun telah berkali-kali mengalami revisi—yang makin mem-“permak” wajah BHP menjadi lebih ramah, masih terdapat beberapa hal krusial yang perlu kita tinjau ulang. RUU BHP ini mencakup hal-hal yang umum dan memiliki celah yang menimbulkan tanda tanya besar bagi aplikasinya nanti. Di antara celah-celah tersebut, berikut 4 aspek yang dapat KM ITB analisis:
1. Pendanaan dalam BHP = Mengurangi Peran Pemerintah dalam Sektor Finansial Pendidikan
Aspek pertama dilihat dari sisi pendanaan suatu institusi pendidikan yang berbentuk badan hukum. Pada pasal 41 ayat 4 disebutkan bahwa pada Pemerintah dan Pemerintah Daerah menanggung paling sedikit sepertiga (1/3) dari biaya operasional pada BHPP dan BHPPD yang menyelenggarakan pendidikan menengah (SMA,ed.). Demikian pula halnya pada Pasal 41 ayat 7 yang menyebutkan bahwa peserta didik yang menanggung paling banyak sepertiga (1/3) dari biaya operasional tersebut.
Hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana institusi pendidikan tersebut memenuhi sepertiga sisanya ? Mengingat hal ini tidak disebutkan pada pasal ini.
Telah diketahui bersama bahwa institusi penyelenggara pendidikan menengah (SMA dan sederajat) bukanlah institusi yang dapat menjadikan ‘penjualan’ riset—seperti halnya institusi pendidikan tinggi—sebagai salah satu sumber pemasukan dana. Pernahkah kita berpikir bagaimana SMA-SMA ini mencari biaya pendidikannya nanti?
Selanjutnya adalah aspek pendanaan pada perguruan tinggi. Pada pasal 41 ayat 6 disebutkan bahwa Pemerintah bersama-sama dengan BHPP menanggung paling sedikit seperdua (1/2) biaya operasional, pada BHPP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi”. Tidak ada ketentuan yang mengatur proporsi kontribusi pendanaan antara pemerintah dan BHPP. Artinya, bisa saja dana yang diberikan pemerintah lebih sedikit daripada yang dibebankan kepada BHPP. Dengan kata lain, BHPP (institusi pendidikan tinggi dalam BHP) memiliki tanggung jawab yang lebih besar daripada pra-BHP.
Pasal 41 ayat 9 mengatakan bahwa biaya penyelenggaraan pendidikan yang ditanggung seluruh peserta didik dalam pendanaan pendidikan tinggi paling banyak sepertiga dari biaya operasional. Terdapat kejanggalan dalam ayat tersebut. Jika seperdua (1/2) biaya operasional ditanggung oleh Pemerintah dan BHPP dengan sepertiganya (1/3) ditanggung oleh peserta didik, maka siapa yang menanggung seperenam (1/6) sisanya? Hal itu juga tidak dijelaskan dalam RUU BHP ini.
Beberapa ketidakjelasan pada masalah pendanaan institusi pendidikan yang berbentuk BHP tersebut, baik pendidikan menengah maupun pendidikan tinggi merupakan hal yang krusial. Hal ini disebabkan karena kaitannya yang erat dengan kemampuan institusi pendidikan untuk bertahan dan tentunya dengan aspek pengelolaan pendidikan itu sendiri.
Satu hal yang perlu direnungkan bersama, terlaksananya pendidikan di suatu negara merupakan tanggung jawab dari pemerintah suatu negara (sebagaimana yang telah diamanahkan konstitusi). Termasuk pula masalah pendanaan suatu institusi pendidikan. Pemerintah tidak boleh berlepas tangan atau berpuas diri dengan sekedar berpartisipasi tanpa melihat kadar ketercukupan dan kualitas pendidikan akibat dari kontribusi tersebut.
2. Otonomisasi Kurikulum dalam BHP
Aspek kedua adalah dari sisi kurikulum. Pada pasal 4 ayat 2 disebutkan bahwa salah satu prinsip pengelolaan pendidikan formal oleh Badan Hukum Pendidikan adalah Otonomi, yaitu kemampuan untuk menjalankan kegiatan secara mandiri dalam bidang akademik maupun non-akademik. Tidak ada penjelasan apa yang dimaksud dengan kemandirian dalam bidang akademik. Kemudian pada pasal 33 ayat 2 tentang tugas dan wewenang organ pengelola pendidikan tinggi salah satunya adalah menyusun dan menetapkan kebijakan akademik bersama dengan organ representasi pendidik. Pada penjelasan RUU BHP disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kebijakan akademik antara lain meliputi kebijakan tentang kurikulum dan pembelajaran.
Terdapat beberapa hal yang perlu dikritisi dari hal tersebut. Salah satunya adalah sejauh manakah kewenangan organ pengelola pendidikan dan organ representasi pendidik dalam menetapkan kebijakan akademik termasuk kurikulum? Apakah kurikulum tesebut benar-benar bebas disusun sesuai dengan kebutuhan dan keinginan organ tersebut, ataukan ada koridor-koridor dasar yang ditentukan Pemerintah dalam menetapkan kurikulum?
Perlu diingat bahwa kurikulum merupakan hal amat penting dalam pelaksanaan pendidikan. Kurikulum merepresentasikan tujuan dan esensi dari pelaksanaan suatu pendidikan. Jika memang benar tujuan pendidikan negara kita adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas SDM bangsa ini, maka mau tidak mau Pemerintah harus melakukan kontrol yang sangat terperinci terhadap kurikulum dalam menjamin ketercapaian tujuan pendidikan karena kurikulum sangat terkait dengan apa-apa yang diajarkan kepada peserta didik. Kontrol Pemerintah terhadap kurikulum bukan berarti menyamaratakan materi-materi pengajaran pada setiap institusi pendidikan tinggi. Namun yang perlu dijaga adalah nilai-nilai dan tujuan dari materi pengajaran tersebut yang diperuntukan untuk meningkatkan kualitas SDM Indonesia demi kemajuan Bangsa.
3. “Superioritas” pada Organ Representasi Pemangku Kepentingan
Aspek ketiga dipandang dari sisi peran dari organ representasi pemangku kepentingan. Pada BAB IV RUU BHP mengenai Tata Kelola, pasal 15 ayat 2 mengatakan bahwa Organ Badan Hukum Pendidikan yang menjalankan fungsi badan hukum pendidikan terdiri atas 4 elemen:
1. Organ representasi pemangku kepentingan
2. Organ representasi pendidik
3. Organ audit bidang non-akademik
4. Organ pengelola pendidikan
Pada pasal 18 ayat 1 disebutkan bahwa organ representasi pemangku kepentingan merupakan organ tertinggi badan hukum pendidikan dalam penyelenggaraan pendidikan formal. Pada pasal yang sama ayat 3 dikatakan bahwa organ representasi pemangku kepentingan di dalam badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi paling sedikit terdiri atas pendiri atau wakil pendiri; wakil organ representasi pendidik; pemimpin organ pengelola pendidikan; wakil tenaga kependidikan dan wakil unsur masyarakat.
Pasal 19 ayat 3 menyatakan bahwa pada pendidikan tinggi jumlah anggota organ representasi pemangku kepentingan yang berasal dari wakil organ representasi pendidik, pemimpin organ pengelola pendidikan, dan wakil tenaga kependidikan adalah paling banyak sepertiganya (1/3). Hal tersebut berarti duapertiga (2/3) anggota dari organ ini berarti berasal dari Pemerintah dan wakil unsur masyarakat.
Sayangnya, tidak disebutkan lebih lanjut berapa persentase pemerintah yang harus menjadi anggota organ representasi pemangku kepentingan. Yang disebutkan hanya bahwa jumlah anggota yang berasal dari pendiri dan wakil pendiri (Pemerintah atau pemerintah daerah) dapat lebih dari 1 orang. Artinya satu orang pun tidak masalah.
Hal ini berbahaya mengingat organ represetasi pemangku kepentingan merupakan organ tertinggi dalam institusi badan hukum pendidikan yang mengatur seluruh aspek strategis dalam pengelolaan badan hukum pendiidkan (pasal 22). Seluruh organ lainnya bertindak untuk dan atas nama organ representasi pemangku kepentingan. Jika sebagian besar anggota organ ini adalah wakil unsur masyarakat, tidak pernah didefinisikan dengan jelas siapa saja yang dimaksudkan wakil unsur mayarakat tersebut. Masyarakat mana yang ternyata mendapat peluang istimewa untuk mengatur institusi pendidikan ini? Apakah ada standar kapabilitas dan kualifikasi tertentu?
Wewenang yang sangat besar ditambah dengan ketiadaan dominasi pemerintah dalam keanggotaan organ ini memungkinkan masuknya berbagai kepentingan dalam penyelenggaraan pendidikan Indonesia. Kontrol Pemerintah pun bersifat amat minimalis dalam hal ini.
Terdapat pula hal menarik dalam hal tata kelola BHP. Pasal 18 ayat 6 menyebutkan bahwa Pemimpin organ pengelola pendidikan tidak memiliki hak suara dalam pengambilan keputusan di dalam organ representasi pemangku kepentingan. Jika memang institusi badan hukum pendidikan adalah institusi yang menjunjung tinggi profesionalitas, mengapa dalam pengambilan keputusan bukan porsi akademisi yang diperbanyak? Bukankah itu justru mengebiri potensi insan akademis untuk mengatur dirinya sendiri? Alih-alih membentuk otonomi kampus, BHP justru membentuk otokrasi kampus yang dipegang oleh ’masyarakat’. Dengan catatan, definisi , criteria dan kualifikasi masyarakat ini belum diatur dalam RUU BHP ini.
Kejanggalan terakhir adalah adanya dewan audit di bawah Organ Representasi Pemangku Kepentingan ini. Jika mengusung asas transparan dan akuntabilitas, bukankah seharusnya dewan audit berada secara independen dan dari pihak ekternal? Terlebih lagi, dalam UU BHP ini belum dijelaskan secara terperinci bagaimana Organ Representasi Pemangku Kepentingan mengatur organ-organ di bawahnya.
4. Analog BHP dengan Perusahaan
Aspek keempat adalah dari sisi pembubaran BHP. Bentuk Badan Hukum Pendidikan memungkinkan suatu institusi pendidikan untuk mengalami pembubaran yang disebabkan salah satunya karena pailit. Hal tersebut terdapat dalam pasal 57. Sangat jelas terlihat, bahwa BHP menjadikan institusi pendidikan analog dengan perusahaan dimana ketika terjadi defisit anggaran, institusi tersebut dapat dinyatakan pailit dan bubar.
Mengingat pendidikan merupakan hal pokok yang menentukan kualitas SDM bangsa dan dengan sendirinya juga berpengaruh terhadap kemajuan-kemunduran bangsa ini, maka pembubaran (kepailitan) adalah hal yang tidak boleh terjadi pada suatu institusi pendidikan di suatu negara. Apalagi mempertimbangkan belum dilakukannya analisis fisibilitas dan analisis kemampuan pendanaan dan pengelolaan pendidikan secara mandiri dalam jangka panjang oleh elemen-elemen pendidikan Indonesia yang menjadi objek dari BHP ini. Hal ini dapat dilihat dari belum dilakukannya evalusasi keberjalanan 7 PT BHMN, terutama 4 kampus yang pertama kali mengalami BHMN-isasi (UI, IPB, UGM, ITB). Padahal dalam keberjalanannya, BHMN-isasi ini bukan berarti tanpa masalah sama sekali.
Demikian pembahasan 4 aspek dari RUU BHP yang menjadi sorotan kami. Mengingat keempat aspek tersebut sangat krusial dalam pelaksanaan pendidikan sekaligus penentuan kualitas pendidikan Indonesia, maka pengesahan RUU BHP menjadi Undang-Undang adalah hal patut dipertanyakan dari sisi kebenaran logika dan keterkaitannya dalam menjawab permasalahan pendidikan nasional saat ini.
artikel ini di copy dari http://www.km.itb.ac.id
Pengesahan RUU BHP menjadi Undang-Undang merupakan hal yang tidak dikehendaki banyak pihak karena terdapat beberapa hal di dalamnya yang bertentangan dengan filosofi dan tujuan pendidikan di Indonesia. Meskipun telah berkali-kali mengalami revisi—yang makin mem-“permak” wajah BHP menjadi lebih ramah, masih terdapat beberapa hal krusial yang perlu kita tinjau ulang. RUU BHP ini mencakup hal-hal yang umum dan memiliki celah yang menimbulkan tanda tanya besar bagi aplikasinya nanti. Di antara celah-celah tersebut, berikut 4 aspek yang dapat KM ITB analisis:
1. Pendanaan dalam BHP = Mengurangi Peran Pemerintah dalam Sektor Finansial Pendidikan
Aspek pertama dilihat dari sisi pendanaan suatu institusi pendidikan yang berbentuk badan hukum. Pada pasal 41 ayat 4 disebutkan bahwa pada Pemerintah dan Pemerintah Daerah menanggung paling sedikit sepertiga (1/3) dari biaya operasional pada BHPP dan BHPPD yang menyelenggarakan pendidikan menengah (SMA,ed.). Demikian pula halnya pada Pasal 41 ayat 7 yang menyebutkan bahwa peserta didik yang menanggung paling banyak sepertiga (1/3) dari biaya operasional tersebut.
Hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana institusi pendidikan tersebut memenuhi sepertiga sisanya ? Mengingat hal ini tidak disebutkan pada pasal ini.
Telah diketahui bersama bahwa institusi penyelenggara pendidikan menengah (SMA dan sederajat) bukanlah institusi yang dapat menjadikan ‘penjualan’ riset—seperti halnya institusi pendidikan tinggi—sebagai salah satu sumber pemasukan dana. Pernahkah kita berpikir bagaimana SMA-SMA ini mencari biaya pendidikannya nanti?
Selanjutnya adalah aspek pendanaan pada perguruan tinggi. Pada pasal 41 ayat 6 disebutkan bahwa Pemerintah bersama-sama dengan BHPP menanggung paling sedikit seperdua (1/2) biaya operasional, pada BHPP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi”. Tidak ada ketentuan yang mengatur proporsi kontribusi pendanaan antara pemerintah dan BHPP. Artinya, bisa saja dana yang diberikan pemerintah lebih sedikit daripada yang dibebankan kepada BHPP. Dengan kata lain, BHPP (institusi pendidikan tinggi dalam BHP) memiliki tanggung jawab yang lebih besar daripada pra-BHP.
Pasal 41 ayat 9 mengatakan bahwa biaya penyelenggaraan pendidikan yang ditanggung seluruh peserta didik dalam pendanaan pendidikan tinggi paling banyak sepertiga dari biaya operasional. Terdapat kejanggalan dalam ayat tersebut. Jika seperdua (1/2) biaya operasional ditanggung oleh Pemerintah dan BHPP dengan sepertiganya (1/3) ditanggung oleh peserta didik, maka siapa yang menanggung seperenam (1/6) sisanya? Hal itu juga tidak dijelaskan dalam RUU BHP ini.
Beberapa ketidakjelasan pada masalah pendanaan institusi pendidikan yang berbentuk BHP tersebut, baik pendidikan menengah maupun pendidikan tinggi merupakan hal yang krusial. Hal ini disebabkan karena kaitannya yang erat dengan kemampuan institusi pendidikan untuk bertahan dan tentunya dengan aspek pengelolaan pendidikan itu sendiri.
Satu hal yang perlu direnungkan bersama, terlaksananya pendidikan di suatu negara merupakan tanggung jawab dari pemerintah suatu negara (sebagaimana yang telah diamanahkan konstitusi). Termasuk pula masalah pendanaan suatu institusi pendidikan. Pemerintah tidak boleh berlepas tangan atau berpuas diri dengan sekedar berpartisipasi tanpa melihat kadar ketercukupan dan kualitas pendidikan akibat dari kontribusi tersebut.
2. Otonomisasi Kurikulum dalam BHP
Aspek kedua adalah dari sisi kurikulum. Pada pasal 4 ayat 2 disebutkan bahwa salah satu prinsip pengelolaan pendidikan formal oleh Badan Hukum Pendidikan adalah Otonomi, yaitu kemampuan untuk menjalankan kegiatan secara mandiri dalam bidang akademik maupun non-akademik. Tidak ada penjelasan apa yang dimaksud dengan kemandirian dalam bidang akademik. Kemudian pada pasal 33 ayat 2 tentang tugas dan wewenang organ pengelola pendidikan tinggi salah satunya adalah menyusun dan menetapkan kebijakan akademik bersama dengan organ representasi pendidik. Pada penjelasan RUU BHP disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kebijakan akademik antara lain meliputi kebijakan tentang kurikulum dan pembelajaran.
Terdapat beberapa hal yang perlu dikritisi dari hal tersebut. Salah satunya adalah sejauh manakah kewenangan organ pengelola pendidikan dan organ representasi pendidik dalam menetapkan kebijakan akademik termasuk kurikulum? Apakah kurikulum tesebut benar-benar bebas disusun sesuai dengan kebutuhan dan keinginan organ tersebut, ataukan ada koridor-koridor dasar yang ditentukan Pemerintah dalam menetapkan kurikulum?
Perlu diingat bahwa kurikulum merupakan hal amat penting dalam pelaksanaan pendidikan. Kurikulum merepresentasikan tujuan dan esensi dari pelaksanaan suatu pendidikan. Jika memang benar tujuan pendidikan negara kita adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas SDM bangsa ini, maka mau tidak mau Pemerintah harus melakukan kontrol yang sangat terperinci terhadap kurikulum dalam menjamin ketercapaian tujuan pendidikan karena kurikulum sangat terkait dengan apa-apa yang diajarkan kepada peserta didik. Kontrol Pemerintah terhadap kurikulum bukan berarti menyamaratakan materi-materi pengajaran pada setiap institusi pendidikan tinggi. Namun yang perlu dijaga adalah nilai-nilai dan tujuan dari materi pengajaran tersebut yang diperuntukan untuk meningkatkan kualitas SDM Indonesia demi kemajuan Bangsa.
3. “Superioritas” pada Organ Representasi Pemangku Kepentingan
Aspek ketiga dipandang dari sisi peran dari organ representasi pemangku kepentingan. Pada BAB IV RUU BHP mengenai Tata Kelola, pasal 15 ayat 2 mengatakan bahwa Organ Badan Hukum Pendidikan yang menjalankan fungsi badan hukum pendidikan terdiri atas 4 elemen:
1. Organ representasi pemangku kepentingan
2. Organ representasi pendidik
3. Organ audit bidang non-akademik
4. Organ pengelola pendidikan
Pada pasal 18 ayat 1 disebutkan bahwa organ representasi pemangku kepentingan merupakan organ tertinggi badan hukum pendidikan dalam penyelenggaraan pendidikan formal. Pada pasal yang sama ayat 3 dikatakan bahwa organ representasi pemangku kepentingan di dalam badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi paling sedikit terdiri atas pendiri atau wakil pendiri; wakil organ representasi pendidik; pemimpin organ pengelola pendidikan; wakil tenaga kependidikan dan wakil unsur masyarakat.
Pasal 19 ayat 3 menyatakan bahwa pada pendidikan tinggi jumlah anggota organ representasi pemangku kepentingan yang berasal dari wakil organ representasi pendidik, pemimpin organ pengelola pendidikan, dan wakil tenaga kependidikan adalah paling banyak sepertiganya (1/3). Hal tersebut berarti duapertiga (2/3) anggota dari organ ini berarti berasal dari Pemerintah dan wakil unsur masyarakat.
Sayangnya, tidak disebutkan lebih lanjut berapa persentase pemerintah yang harus menjadi anggota organ representasi pemangku kepentingan. Yang disebutkan hanya bahwa jumlah anggota yang berasal dari pendiri dan wakil pendiri (Pemerintah atau pemerintah daerah) dapat lebih dari 1 orang. Artinya satu orang pun tidak masalah.
Hal ini berbahaya mengingat organ represetasi pemangku kepentingan merupakan organ tertinggi dalam institusi badan hukum pendidikan yang mengatur seluruh aspek strategis dalam pengelolaan badan hukum pendiidkan (pasal 22). Seluruh organ lainnya bertindak untuk dan atas nama organ representasi pemangku kepentingan. Jika sebagian besar anggota organ ini adalah wakil unsur masyarakat, tidak pernah didefinisikan dengan jelas siapa saja yang dimaksudkan wakil unsur mayarakat tersebut. Masyarakat mana yang ternyata mendapat peluang istimewa untuk mengatur institusi pendidikan ini? Apakah ada standar kapabilitas dan kualifikasi tertentu?
Wewenang yang sangat besar ditambah dengan ketiadaan dominasi pemerintah dalam keanggotaan organ ini memungkinkan masuknya berbagai kepentingan dalam penyelenggaraan pendidikan Indonesia. Kontrol Pemerintah pun bersifat amat minimalis dalam hal ini.
Terdapat pula hal menarik dalam hal tata kelola BHP. Pasal 18 ayat 6 menyebutkan bahwa Pemimpin organ pengelola pendidikan tidak memiliki hak suara dalam pengambilan keputusan di dalam organ representasi pemangku kepentingan. Jika memang institusi badan hukum pendidikan adalah institusi yang menjunjung tinggi profesionalitas, mengapa dalam pengambilan keputusan bukan porsi akademisi yang diperbanyak? Bukankah itu justru mengebiri potensi insan akademis untuk mengatur dirinya sendiri? Alih-alih membentuk otonomi kampus, BHP justru membentuk otokrasi kampus yang dipegang oleh ’masyarakat’. Dengan catatan, definisi , criteria dan kualifikasi masyarakat ini belum diatur dalam RUU BHP ini.
Kejanggalan terakhir adalah adanya dewan audit di bawah Organ Representasi Pemangku Kepentingan ini. Jika mengusung asas transparan dan akuntabilitas, bukankah seharusnya dewan audit berada secara independen dan dari pihak ekternal? Terlebih lagi, dalam UU BHP ini belum dijelaskan secara terperinci bagaimana Organ Representasi Pemangku Kepentingan mengatur organ-organ di bawahnya.
4. Analog BHP dengan Perusahaan
Aspek keempat adalah dari sisi pembubaran BHP. Bentuk Badan Hukum Pendidikan memungkinkan suatu institusi pendidikan untuk mengalami pembubaran yang disebabkan salah satunya karena pailit. Hal tersebut terdapat dalam pasal 57. Sangat jelas terlihat, bahwa BHP menjadikan institusi pendidikan analog dengan perusahaan dimana ketika terjadi defisit anggaran, institusi tersebut dapat dinyatakan pailit dan bubar.
Mengingat pendidikan merupakan hal pokok yang menentukan kualitas SDM bangsa dan dengan sendirinya juga berpengaruh terhadap kemajuan-kemunduran bangsa ini, maka pembubaran (kepailitan) adalah hal yang tidak boleh terjadi pada suatu institusi pendidikan di suatu negara. Apalagi mempertimbangkan belum dilakukannya analisis fisibilitas dan analisis kemampuan pendanaan dan pengelolaan pendidikan secara mandiri dalam jangka panjang oleh elemen-elemen pendidikan Indonesia yang menjadi objek dari BHP ini. Hal ini dapat dilihat dari belum dilakukannya evalusasi keberjalanan 7 PT BHMN, terutama 4 kampus yang pertama kali mengalami BHMN-isasi (UI, IPB, UGM, ITB). Padahal dalam keberjalanannya, BHMN-isasi ini bukan berarti tanpa masalah sama sekali.
Demikian pembahasan 4 aspek dari RUU BHP yang menjadi sorotan kami. Mengingat keempat aspek tersebut sangat krusial dalam pelaksanaan pendidikan sekaligus penentuan kualitas pendidikan Indonesia, maka pengesahan RUU BHP menjadi Undang-Undang adalah hal patut dipertanyakan dari sisi kebenaran logika dan keterkaitannya dalam menjawab permasalahan pendidikan nasional saat ini.
artikel ini di copy dari http://www.km.itb.ac.id